Kerap kali HRD dihadapkan pada hambatan baik dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan, mulai dari hambatan prosedural, ancaman ringan, hingga tindakan nyata yang membawa kematian. Hambatan biasanya berbentuk tindakan atau pembiaran yang menghambat hak-hak HRD dalam melakukan kerja HAM. Kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut dapat pula berupa pembunuhan, ancaman pembunuhan, penculikan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pemukulan dan penyiksaan saat penahanan, penuntutan dan dakwaan kriminal, pelecehan, pencemaran nama baik, pembatasan kerja, gangguan pertemuan-pertemuan, pembatasan hak berekspresi dan berorganisasi, penyerangan terhadap rumah atau kantor, pencurian, penggeledahan secara sewenang-wenang, hingga budaya impunity. Berbagai hambatan, kekerasan dan ancaman tersebut dapat dilakukan oleh aktor negara ataupun aktor individual.
Indonesia adalah negara dengan tingkat resiko yang tinggi terhadap Human Rights Defenders (HRD) atau pembela HAM, terutama di daerah-daerah konflik terutama daerah Provinsi Aceh baik pada masa konflik maupun pasca penendatanganan kesepakatan damai MoU Helisingki 15 Agustus 2005 data media terakhir menyebutkan salah satu tindak yang masih tergolong dalam upaya menghambat kerja-kerja HRD dalam mendapingi kepentingan masyarakakat adalah kasus penangkapan anggota LBH sebanyak 8 (delapan) Orang yang saat ini telah menjadi tersangka. Dalam dugaan penghasutan pada kasus sengketa masyarakat dengan PT. Bumi Flora.
Berdasarkan Deklarasi Pembela HAM, negara seharusnya melindungi HRD dari segala bentuk ancaman yang dapat mengganggu tugas-tugasnya. Ternyata fakta di lapangan menunjukkan bahwa Aktor negara ataupun Aktor Individual, yang seharusnya dapat melindungi HRD ternyata dalam beberapa kasus selalu menjadi halangan paling besar. Negara masih mempertahankan kebijakan yang justru menghambat dan mencelakakan HRD, misalnya pasal-pasal dalam KUHP yang sejak jaman kolonial telah digunakan untuk menjerat aktivis, antara lain pasal-pasal tentang makar, penghinaan kepada kepala negara, penghasutan, dll. Ironisnya, meskipun Indonesia pasca jatuhnya rezim Soeharto dianggap sebagai negara transisi menuju demokratis, tetapi fakta menunjukkan bahwa negara justru memproduksi kebijakan-kebijakan baru yang bersifat represif, seperti misalnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, karena peraturan-peraturan tersebut sangat efektif digunakan negara untuk memberangus HRD.
Mengingat pentingnya peran HRD dalam upaya perlindungan dan pemajuan HAM serta berbagai bentuk ancaman yang dihadapi dalam melaksanakan kerja-kerja HAM, pada tanggal 9 Desember 1998 telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom” dengan resolusi 53/144. Deklarasi inilah yang kemudian disebut sebagai Deklarasi HRD.
Deklarasi ini menegaskan bahwa adalah hak dan tanggung jawab setiap orang, baik sendiri-sendiri maupun dalam suatu kelompok, untuk memajukan dan berjuang melindungi dan mewujudkan HAM dan menyelamatkan demokrasi baik pada level nasional ataupun internasional. Orang-orang yang melaksanakan hak dan tanggungjawabnya dalam deklarasi inilah yang masuk kategori HRD. Deklarasi ini dalam artikel 1, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, dan 13 memberikan perlindungan terhadap HRD atas hak-hak sebagai berikut:
- Hak untuk mewujudkan perlindungan dan realisasi HAM baik pada level nasional maupun internasional.
- Hak untuk melakukan kerja-kerja HAM baik secara individu maupun dalam organisasi dengan individu lain.
- Hak untuk membentuk asosiasi dan organisasi non-pemerintah.
- Hak untuk bertemu atau membuat pertemuan secara damai.
- Hak untuk mencari, mendapatkan, menerima, dan menyimpan informasi terkait dengan HAM.
- Hak untuk mendiskusikan dan mengembangkan ide-ide dan prinsip-prinsip baru tentang HAM dan memperjuangkan penerimaannya.
- Hak untuk menyampaikan proposal dan kritik tentang masalah publik kepada lembaga-lembaga dan organisasi pemerintahan demi meningkatkan fungsinya dan untuk memberikan perhatian terhadap berbagai aspek dari kerja HAM yang dapat mendorong realisasi HAM.
- Hak untuk menyatakan keberatan dan mendapatkan tanggapan terhadap kebijakan dan tindakan pejabat terkait dengan HAM.
- Hak untuk menawarkan dan memberikan bantuan hukum profesional atau bantuan dan nasehat-nasehat lain dalam membela HAM.
- Hak untuk menghadiri dengar pendapat (public hearing), proses pemeriksaan (penyelidikan dan penyidikan) dan persidangan untuk menilai kesesuaiannya dengan hukum nasional dan ketentuan HAM internasional.
- Hak untuk tidak dihambat atas akses dan komunikasi dengan organisasi non pemerintah dan organisasi internasional.
- Hak untuk mendapatkan keuntungan dari suatu ganti kerugian.
- Hak untuk melakukan pekerjaan atau profesi HRD.
- Hak atas perlindungan efektif menurut hukum nasional dalam mereaksi atau melawan, secara damai, atas tindakan atau pembiaran yang dilakukan negara yang menghasilkan pelanggaran HAM.
- Hak untuk mengumpulkan, menerima, dan menggunakan sumber-sumber daya untuk melindungi HAM. (Termasuk hak untuk menerima dana dari luar negeri).
Hak-hak tersebut di atas sesungguhnya juga bagian dari HAM secara keseluruhan sebagaimana diatur baik dalam DUHAM, ICCPR, maupun ICESCR. Hak-hak tersebut di Indonesia juga telah memiliki landasan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 27, 28, dan 28 A – 28 I UUD 1945 yang ditegaskan kembali melalui ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Negara memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan dan menghormati semua ketentuan dalam Deklarasi HRD. Kewajiban ini adalah bagian dari kewajiban untuk melindungi dan memajukan HAM secara keseluruhan sebagai komitmen yang dituangkan dalam DUHAM. Kewajiban ini secara nasional pada Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Hanya dengan tegaknya Hak bagi para pembela HAM merupakan obat terhadap proses inpunitas yang sedang dijalankan pemerintah.
bumoeatjeh