19 Oktober 2009

"PN Bireuen Tak Berspektif Anak"



Lhokseumawe | Harian Aceh--Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bireuen yang memberi hukuman penjara enam bulan dan denda Rp6 juta subsider kurungan dua bulan kepada Fajri Bin M Isa, serta tiga bulan penjara dan denda Rp3 juta subsider kurungan sebulan kepada Helmi Bin Hamputi, dinilai belum berspektif anak yang notabene masih dalam pendidikan.
Demikian disampaikan Zulfikar Muhammad, Koordinator Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009, melalui siaran persnya, tadi malam. Posko Bersama ini yang melakukan pemantauan terhadap penerapan hukum terhadap kasus pemilu, menyatakan itu terkait kasus dugaan perusakan atribut kampanye beberapa partai politik di kawasan Kecamatan Jangka Bireuen yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur atau pelakunya masih dalam status sebagai siswa kelas satu SMA.
Alasan Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009 menilai putusan PN Bireun pada Kamis (16/4) itu belum berspektif anak, menurut Zulfikar, karena sesuai pasal 16 UU No.23 ayat (3) tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan: bahwa penahanan, penangkapan atau tindak pidana penjara hanya dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan Pasal 17ayat (1) huruf (b) bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap upaya hukum yang berlaku. Di samping itu Putusan Hakim PN Bireuen dinilai sangat memberatkan terdakwa Fajri bin M Isa dan Suhelmi bin Hamputi selaku terdakwa kasus perusakan baliho partai PPP, PRA dan Partai SIRA yang memiliki latar belakang orang tua kurang mampu.
“Maka dalam upaya banding yang diajukan oleh masing-masing terdakwa, Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009 yang dibantu LSM BIMA Bireuen, di samping melakukan pemantauan terhadap berbagai pelanggaran pemilu yang terkait dengan intimidasi dan kekerasan, juga melakukan pemantauan dan pendampingan hukum terkait dengan penerapan hukum untuk berbagai kasus Pemilu 2009,” kata Zulfikar Muhammad.
Menurut dia, dalam kasus yang dialami Fajri Bin M. Isa dan Suhelmi Bin Hamputi oleh polisi dalam hal ini Polsek Jangka Bireuen tidak pernah melakukan Upaya Diskresi yaitu berupa mekanisme khusus pemberlakuan untuk tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anak dengan memanggil pihak yang merasa dirugikan untuk dapat menghentikan kasus ini. “Dan, jaksa  penuntut umum terlalu kaku berpatokan pada UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, dengan tidak melihat penerapan hukum lain terutama UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,” katanya.
Dalam surat tuntutan jaksa, menurut Zulfikar, menyebutkan hal yang memberatkan dalam kasus ini adalah akibat perbuatan ke-dua terdakwa telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat sungguh tidak didasarkan fakta lapangan yang memadai. Karena fakta persidangan dari pengakuan  terdakwa bahwa mereka hanya bermaksud memindahkan baliho yang telah rubuh dan miring ke jalan agar lalulintas tidak terganggu dan di samping itu sampai hari ini belum ada masyarakat yang menyatakan resah akibat dari perbuatan anak-anak ini.
“Dan, di lain pihak para pihak yang dirugikan dalam kasus ini yaitu partai PPP, PRA dan Partai SIRA dengan maksud sangat mulianya telah menyerahkan langsung kepada kedua anak tersebut. Pernyataan tertulis yang berisikan telah memaafkan tindakan ke-duanya, menyerahkan pembinaan mereka kepada pihak sekolah dan pemuka adat gampong dan memohon kepada majelis hakim tinggi Pengadilan Tinggi Aceh untuk kiranya dapat membebaskan mereka dari segala hukuman,” kata Zulfikar.
Secara Sosiologis, lanjut Zulfikar, tindakan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut adalah murni dari ketidak tahuan mereka terhadap aturan pidana pemilu. Karena dari hasil pemantauan yang dilakukan Posko Masyarakat Sipil Pantau HAM secara umum masyarakat tidak mengetahui berbagai aturan pada Pemilu 2009, akibat lemahnya sosialisasi yang dilakukan KIP. “Jadi kita mengharapkan agar dari carut-marutnya sistem penyelenggaraan Pemilu 2009 jangan sampai memakan korban apalagi itu adalah anak-anak yang dapat dipastikan masih memiliki masa depan yang lebih baik nantinya,” katanya.
Zulfikar berharap majelis hakim Pengadilan Tinggi Aceh dapat kira mengabulkan memori banding yang disampaikan anak-anak melalui PN Bireuen tersebut mengingat keputusan akhir dalam kasus pidana pemilu berada di Pengadilan Tinggi dengan tidak ada upaya hukum lainnya sesuai dengan UU No.10 tahun 2008 tentang pemilu. “Hendaknya majelis hakim tinggi dapat melakukan penemuan hukum hingga tidak berakibat pada menghambat hak mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak tersebut,” kata mantan aktivis mahasiswa ini.
Sikap keberatan atas putusan PN Bireuen itu, juga disampaikan Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009, melalui surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Mentari Departemen Hukum dan HAM, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, Pimpinan KPU Pusat, Ketua KOMNAS HAM, dan Ketua KOMNAS Anak  RI.(irs)

Sumber : Harian Aceh, Jum'at 24 April 2009

Posko Masyarakat Sipil: Praktik Intimidasi Sangat Sulit Diungkap


BANDA ACEH - Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009 yang memfokuskan pemantauan pada isu intimidasi dan kekerasan menyatakan sangat sulit untuk mengungkap praktik intimidasi yang banyak dilaporkan oleh masyarakat. Pasalnya, para korban tidak ingin keterangan dan identitasnya dibuka kepada publik.

Padahal, kata koordinator posko, Zulfikar Muhammad, kasus intimidasi maupun kekerasan paska hari pemungutan suara, secara umum masih terjadi di sejumlah wilayah. “Namun jika sebelum hari pemungutan suara terjadi di desa atau di pemukiman penduduk, pascahari pemungutan suara, kasus dimaksud pindah ke lokasi PPK, baik dalam bentuk SMS ataupun melalui telepon gelap kepada para petugas PPK,” tulis Zulfikar dalam siaran persnya kepada Serambi Minggu (12/4).

Siaran pers yang turut disetujui dua juru bicara posko, Faisal Hadi dan Asiah Uzia juga menyebutkan, selain kasus intimidasi dan kekerasan, pihaknya juga menerima sejumlah laporan dugaan kecurangan di tingkat PPK. “Penggelembungan suara dengan modus menstipo atau mengubah berita acara atau mencontreng sisa kertas suara, menjadi laporan yang paling banyak diterima Posko Masyarakat Sipil,” kata dia.

Namun, tambah Zulfikar, relawan posko kesulitan untuk membuktikan hal tersebut, karena pihaknya tidak dibenarkan melakukan pemantauan terkait teknis rekapitulasi yang dilakukan sampai ke dalam kantor PPK. Selain karena dihalang-halangi oleh petugas keamanan, pada beberapa kasus relawan posko yang masuk ke ruang PPK juga diminta keluar secara hormat oleh petugas PPK.

Pun demikian, kata Zulfikar, hingga saat ini pihaknya belum bisa mengambil keputusan tentang perlu tidaknya mengeluarkan rekomendasi terkait wacana pemilu ulang yang sudah dilontarkan sejumlah pihak. “Posko Masyarakat Sipil Pantau HAM belum dapat menyampaikan kesimpulannya, karena tim analisis dan relawan kita di 16 kabupaten/kota, sedang bekerja melihat masalah satu persatu secara detail. Jika tidak ada halangan, tim analisis kita akan merampungkan tugasnya pada tanggal 15 April 2009,” ungkap dia.

Zulfikar menambahkan, posko masyarakat sipil akan terus melakukan pemantauan HAM pada Pemilu 2009, sampai selesainya seluruh tahapan pemilu. Hal ini, kata dia, terkait dengan adanya keinginan masyarakat yang meminta posko masyarakat sipil, terus memantau seluruh proses rekapitulasi sampai pada penetapan hasil Pemilu Legislatif 2009.

“Meskipun hari berat dalam agenda Pemilu 2009, yaitu hari pemungutan suara sudah dilalui pada tanggal 9 April 2009 lalu, namun Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009 terus bekerja, sejak 60 hari sebelum hari H dan 30 hari setelahnya,” demikian Zulfikar Muhammad.(nal)

Sumber : Harian Serambi Indonesia, 13 April 2009

KPK Uji Materi Kampaye Calon Presiden

Lhokseumawe | Harian Aceh - Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh menyatakan, akan melakukan uji materi terhadap substansi isi kampaye terbuka maupun kampanye tertutup calon presiden dan wakil presiden peserta pemilihan presiden (Pilpres), 8 Juli 2009.

Demikian ditegaskan Juru Bicara Koalisi NGO HAM, Zulfikar Muhammad, melalui siaran pers, Jumat (12/6). KPK merupakan gabungan LSM, NGO dan organisasi korban pelanggaran HAM, yang saat ini bekerja aktif dalam mendampingi korban pelanggaran HAM di Aceh.
KPK tersebut, kata Zulfikar, menilai penting melakukan uji mteri kampnye Capres sebagai rekam jejak terhadap berbagai janji Capres terhadap rencana negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghormati HAM, terutama untuk Aceh. Di samping itu, ujar dia, analisa terhadap isi kampanye Capres/Cawapres akan didokumentasikan secara khusus hingga nantinya masyarakat dapat menagih kembali berbagai janji Capres.
“Prinsipnya adalah, kita akan mengukur secara ilmiah pasangan Calon Presiden mana yang paling memperioritaskan hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Dan, harapannya adalah masyarakat akan dapat menilai pasangan Capres yang sangat layak untuk Aceh,” kata Zulfikar Muhammad.
Menurut dia, advokasi terhadap penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, baru akan membuahkan hasil jika pemerintah pusat maupun daerah baik legislatif dan eksekutif punya niat, kesadaran, komitmen serta konsisten terhadap pengungkapan kebenaran kasus pelanggaran HAM masa lalu.
“Sampai saat kita masih optimis bahwa anggota Legislatif baik pusat maupun daerah yang terpilih pada April 2009 lalu, punya pemahaman yang baik terhadap perlindungan HAM, namun kita sadar bahwa kebijakan politik akan lebih baik jika didorong secara maksimal oleh masyarakat hingga capaiannya akan maksimal pula,” ujarnya.(nsy)

Sumber : Surat Kabar Harian Aceh, 13 Juni 2009

MODUSACEH-NEWS.COM - Hukum - Kematian Susanto Misteri Polisi

MODUSACEH-NEWS.COM - Hukum - Kematian Susanto Misteri Polisi

18 Oktober 2009

Prestasi Aparat Keamanan Dipuji

BANDA ACEH - Keberhasilan aparat keamanan (polisi dan aparat TNI) dalam memberangus para penculik, sekaligus menyelamatkan Jufrizal (18), warga Lhokseumawe yang diculik, Rabu (3/6) siang, mendapat apresiasi tinggi dari berbagai kalangan di Aceh. Prestasi itu dinilai makin memulihkan rasa percaya masyarakat pada kesungguhan polisi membasmi kejahatan-kejahatan bersenjata api, sekligus telah memberikan harapan baru bagi rasa aman masyarakat Aceh pasca-MoU Helsinki. Demikian, antara lain, sari pendapat Ketua DPR Aceh Sayed Fuad Zakaria, Juru Bicara Koalisi NGO HAM Aceh Zulfikar Muhammad, dan akademisi Fakultas Hukum Unsyiah yang juga pegiat hak asasi manusia (HAM), Saifuddin Bantasyam.

Sebagaimana diwartakan Serambi kemarin, drama penyanderaan Jufrizal, remaja Lhokseumawe, berakhir menegangkan ketika tim gabungan Polres Lhokseumawe, Polres Aceh Timur, Polres Langsa, Tim Khusus Polda, dibantu aparat TNI menggempur markas komplotan penculik di kawasan Jeungki, Peureulak Timur, Aceh Timur, Rabu siang. Dalam peristiwa itu dua tersangka tewas, empat ditangkap, sedangkan sandera berhasil dibebaskan.

Terkait prestasi itu, Zulfikar dari Koalisi NGO HAM Aceh dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (4/6), menyatakan keberhasilan polisi menyelamatkan Jufrizal, warga Simpang Keuramat yang menjadi korban penculikan, telah memberikan harapan baru bagi rasa aman masyarakat Aceh. “Selesainya kasus ini sangat berdampak pada psikologis masayarakat Aceh, terutama terhadap rasa aman di tengah maraknya kasus-kasus penculikan, pembunuhan, dan perampokan bersenjata api di Aceh dalam masa damai,” ujar Zulfikar.

Di samping itu, kata dia, drama penculikan dan suksesnya pembebasan Jufrizal ini, juga telah memberikan pesan penting bagi masyarakat dan penegak hukum bahwa keamanan akan bisa tercapai hanya karena kerja sama dan ketaatan masyarakat kepada hukum, serta sigapnya aparat kepolisian dalam mengambil tindakan.

“Perilaku polisi yang arogan seperti masa lalu harus segera dihapuskan. Karena kesuksesan seperti ini sangat terkait dengan dukungan masyarakat, terutama dalam hal memproteksi diri dari berbagai gangguan keamanan, dengan cara melaporkan berbagai gangguan ketertiban masyarakat kepada polisi, baik pelakunya oknum polisi, TNI, ataupun sipil bersenjata,” tulis Zulfikar.

Koalisi NGO HAM Aceh juga menyatakan dukungan penuh terhadap upaya polisi dalam menangkap para pelaku penculikan. Karena dalam dua tahun terakhir, Koalisi NGO HAM mencatat 15 kasus penculikan sepanjang tahun 2008 dan lima kasus penculikan dalam tahun 2009 berjalan. “Tentunya hal ini sangat meresahkan masyarakat dalam situasi perdamaian, karena hak merasa aman adalah hak asasi manusia yang tidak dapat ditawar,” ujar dia.

Begitupun, Zulfikar mengingatkan aparat kepolisian di Aceh agar senantiasa mengutamakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam melaksanakan tugas seperti ini. “Keselamatan korban dan warga di sekitar lokasi kejadian harus diutamakan. Ke depan, polisi harus lebih serius mengungkap mafia bersenjata di Aceh, mengingat hampir semua perampokan, penculikan, dan pembunuhan pelakunya menggunakan senjata api,” demikian Zulfikar.

Patut dihargai
Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria juga memberi apresiasi tinggi kepada Polda Aceh beserta jajarannya dan TNI atas keberhasilan bersama menggerebek dan menggempur sarang penculik bersenjata api, Rabu (3/6) siang di Jeungki, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, dan membebaskan sandera dengan selamat.

“Keberhasilan ini berkat kerja keras polisi bersama TNI dalam melaksanakan tugasnya dengan profesional, sehingga para penculik yang meresahkan masyarakat sudah dapat dilumpuhkan dan kita patut memberikan penghargaan yang tinggi kepada polisi dan TNI,” ujar Sayed Fuad Zakaria kepada Serambi kemarin.

Kerja sama seperti itu, disarankan Ketua DPRA agar makin ditingkatkan, sehingga jika muncul kasus yang sama penanganannya bisa secepatnya ditangani dan tepat sasaran. Gangguan keamanan, kata Sayed, setiap saat bisa terjadi, apalagi kondisi Aceh pascatsunami dan MoU Helsinki, sangat rawan terhadap berbagai tindakan kriminal. Faktor yang mendorongnya, antara lain, ekonomi, dendam, dan motif lain yang masyarakat umum sulit mengetahuinya, sebelum aktor intlektualnya ditangkap polisi.

Sayed merekomendasikan agar keberhasilan itu hendaknya dijadikan pola kerja sama yang permanen, baik untuk internal polisi maupun kerja sama antara polisi dan TNI, dalam penanganan kasus-kasus besar lainnya. “Terus terang, dengan pola kerja yang dibangun sekarang ini untuk memberantas kejahatan, masyarakat dan DPRA sangat puas akan hasilnya,” ujar Sayed.

Namun, dia ingatkan, karena komplotan penculik belum seluruhnya tertangkap, maka pola kerja sama ini perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan daya endus dan daya sergapnya, supaya kasus penculikan yang bakal terjadi bisa secepatnya diantisipasi dan ditangani. Sementara itu, Saifuddin Bantasyam SH MA mengatakan, keberhasilan polisi bersama TNI membombardir markas penculik di Jeungki, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, telah membuat masyarakat sedikit lega. “Keberhasilan itu harus dijadikan polisi dan TNI sebagai dasar tindakan untuk berbuat lebih cepat dan tepat lagi,” tukasnya.

Teknik penanganan kasus penculikan dengan memberangus pelaku dan menyelamatkan korban, menurut Saifuddin, perlu terus dikembangkan dengan meminimalisasi ancaman korban yang akan terjadi pada masyarakat. Dengan demikian, ketangkasan, kecepatan, dan ketepatan bertindak polisi bersama TNI, benar-benar diuji dalam menggerebek markas penculik.

“Jangan ceroboh, sehingga bisa membuat masyarakat jadi korban. Misalnya, peluru nyasar kepada masyarakat yang bukan menjadi sasaran dari operasi penindakan kejahatan yang dituju,” timpalnya. Dalam tindakan operasi, kata Saifuddin, hal seperti di atas bisa saja sewaktu-waktu terjadi dan di luar dugaan. Tapi tindakan meminimalisasi jatuhkan korban di pihak masyarakat, perlu menjadi prioritas utama dalam melakukan tindakan operasi kriminal. “Kalau ini bisa dilakukan oleh aparat keamanan, maka ini termasuk ke dalam kategori pelaksanaan pemerintahan yang baik, bersih, dan profesional,” kata Direktur Eksekutif YPHAM ini.

Mantan pejabat penghubung Komnas HAM di Aceh ini juga menyarankan keberhasilan polisi bertindak cepat, tepat, dan meminimalisasi jatuhnya korban yang bukan menjadi sasaran tindakan kriminal, perlu juga diterapkan dalam mengusut kasus tindak pidana korupsi di Aceh yang dinilai masyarakat selama ini berjalan lamban. “Misalnya, ya, dengan meniru sistem yang diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi: bertindak cepat, tepat, dan meminimalisasi sasaran yang bukan menjadi target hukum,” ujar Saifuddin. (her/nal) 

Sumber : Harian Serambi Indonesia, 5 Juni 2009

Pemerintah Aceh Dinilai Abaikan Hak Ekosob Masyarakat

BANDA ACEH - Berbagai temuan situs sejarah Samudera Pasai oleh Tim Peduli Sejarah Aceh Yayasan Waqaf Nurul Islam Lhokseumawe, dinilai telah membuka informasi sejarah terpenting dalam peradaban Aceh. Sayangnya, hingga saat ini kegiatan tersebut belum mendapat respon dari Pemerintah Aceh, sehingga muncul penilaian Pemerintah Aceh telah mengabaikan hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) masyarakat Aceh.

“Jika dicermati secara baik, maka negara, khususnya Pemerintah Aceh secara serius telah mengabaikan Hak Ekosob masyarakat Aceh, terutama terhadap sejarah Samudera Pasai. Karena seharusnya merupakan kewajiban negara atau pemerintah daerah untuk terus menerus secara reguler menggali dan melestarikan sejarah kebudayaan Aceh. Bukan justru membiarkan situs-situs sejarah Aceh hilang atau tenggelam dimakan usia,” kata Zulfikar Muhammad, Juru Bicara Koalisi NGO HAM Aceh, dalam siaran pers kepada Serambi Kamis (7/5).

Ia menyebutkan, hak Ekosob sebagaimana tertuang dalam UU No.11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi hak masyarakat yang tidak dapat ditawar. “Jadi negara dalam hal ini sama sekali tidak boleh menghambat, mengabaikan atau bahkan merusak dengan alasan pembangunan terhadap berbagai sumber kebudayaan masyarakat,” kata Spesialis Aktivis HAM Ekosob pada lembaga itu. Dalam UU itu, ungkap Zulfikar, negara diberi mandat untuk melestarikan secara layak, merawat dan memelihara serta mendorong secara penuh partisipasi masyarakat dalam mejaga kebudayaannya terutama tentang sejarah. Karena hal tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi hal mutlak rakyat yang tidak boleh diabaikan.

Menurut Zulfikar, keadaan tersebut juga membuktikan bahwa kinerja Dinas Kebudayaan Aceh, saat ini sangat buruk dan tidak punya target. “Lemahnya sumber daya yang menduduki jabatan tersebut kita duga penyebab mutlak Koalisi NGO HAM Aceh juga menyorot tindakan dinas terkait di Aceh Utara yang telah memberhentikan Ramlan (penjaga makam Ratu Nahrisyah) tanpa alasan yang jelas. Zulfikar menduga, pemberhentian Ramlan ini terkait dengan keterlibatan yang bersangkutan dalam Tim Penelitian Sejarah Samudera Pasai yang didanai secara swadaya oleh anggota tim. Sedangkan pemerintah setempat, kata Zulfikar, justru berfikir tentang akan melakukan pembangunan mega proyek (Menara Samudera Pasai) di kawasan yang masih menyimpan ribuan benda bersejarah. Padahal proyek ini bisa berakibat pada hilangnya benda-benda bersejarah tersebut,” demikian Zullfikar Muhammad.(nal)


Sumber : Serambi Indonesia, 08 Mei 2009

Koalisi NGO HAM: Wakil Walikota Lhokseumawe Cederai Cita-cita Reformasi


Harian Aceh - Koalisi NGO HAM Aceh menilai Wakil Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya telah mengambil tindakan berlebihan yang mencederai cita-cita semangat reformasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh. Hal ini terkait tindakan Suaidi Yahya yang melaporkan elemen masyarakat ke polisi karena diduga telah mencemarkan nama baiknya. Komnas HAM Perwakilan Aceh diminta bertindak cepat dalam melindungi hak-hak masyarakat Aceh.

Demikian disampaikan Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, Jumat (17/7). Menurut dia, DPR RI telah mengesahkan UU No.14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik sebagai perwujudan cita-cita Reformasi Birokrasi yang menjelaskan secara rinci semua hak masyarakat dalam mendapatkan hak sipilnya. Yaitu, mendapatkan berbagai informasi publik dari berbagai sektor. Masyarakat, kata dia, berhak dan boleh mendapatkan informasi penggunaan keuangan di pemerintahan serta badan hukum lainnya. UU tersebut, katanya, disahkan 3 April 2008.

Selain itu, menurut Zulfikar, Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang jaminan hak-hak sipil dan politik, di mana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh negara menyangkut hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama di hadapan hukum dan pemerintahan, serta hak mendapatkan keadilan, dll. Menjadi hak mutlak masyarakat yang untuk alasan khusus atas putusan pemerintah pusat dapat dibatasi misalnya untuk menjaga keamanan nasional. “Jadi sangat tidak beralasan jika suatu hak sipil masyarakat dikriminalisasikan,” katanya.

Menurut dia, Pemko Lhokseumawe telah melanggar HAM dalam berpendapat dan mendapatkan informasi. Untuk itu, kata dia, Komisi Nasional Hak Asasi Mahasiswa Perwakilan Aceh harus bertindak cepat dalam melindungi hak-hak masyarakat Aceh. Ia juga menilai laporan pengaduan Wakil Walikota Suaidi Yahya terkait hal itu, tidak terpenuhinya unsur pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 310 ayat (1),(2) dan (3) KUHP.

Secara filosofis, lanjut Zulfikar, pihaknya menilai tidak ada pihak yang dirugikan dengan adanya berita ‘adanya seseorang yang menjadi kaya walaupun dengan cara tiba-tiba’. Karena Agama dan negara juga tidak melarang masyarakat menjadi kaya. Namun, kata dia, bagi pejabat publik dalam menjalankan pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, transparansi terhadap penggunaan keuangan daerah baik dalam bentuk tunjangan, gaji, protokuler, dan kebutuhan rumah tangga, wajib diberitahukan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam teks proklamasi, pancasila, UUD 1945 dan aturan hak-hak sipil lainnya, serta perintah UU yang berlaku di Indonesia.

Koalisi NGO HAM Aceh berharap, Pemko Lhokseumawe dapat memediasi untuk menyelesaikan kasus laporan pengaduan Wakil Walikota Suaidi Yahya terhadap elemen masyarakat. Karena jika diteruskan dan muncul ke pengadilan, kata dia, yang ada adalah siapa yang mencemarkan nama baik dan siapa yang tercemar. “Tapi di sisi lain transparansi terhadap kekayaan seorang pejabat yang harusnya secara reguler harus dilaporkan kepada masyarakat melalui mekanisme UU yang berlaku, jadi tertutup. Dan, ini akan sangat berpengaruh terhadap menurunnya rasa kepercayaan masyarakat kepada Pemko Lhokseumawe secara umum,” katanya.

Sebelumnya, Effendi Idris SH selaku kuasa hukum Wakil Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya, melalui sanggahannya, mengatakan, kliennya menempuh jalur hukum untuk menjernihkan nama baiknya. “Karena apa yang dituding kepada Wakil Walikota tidak ada sama sekali. Jadi wajar menempuh jalur hukum, dan itu hak setiap warga negara Indonesia,” katanya, Selasa (14/7).

Seperti diberitakan, Wakil Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya membuat laporan pengaduan ke Polres Lhokseumawe terkait pernyataan pihak tertentu yang menuding dirinya kaya, sebagaimana diberitakan Harian Aceh dan Prohaba edisi 8 Juli 2009.

Kapolres Lhokseumawe AKBP Zulkifli melalui Kasat Reskrim AKP Bambang Sugihartono, Senin (12/7), membenarkan bahwa Wakil Walikota Suaidi Yahya sudah membuat laporan pengaduan terkait dugaan pencemaran nama baiknya. “Laporan pengaduan itu dibuat oleh Effendi Idris SH, kuasa hukum Wakil Walikota Suaidi Yahya, Jumat (10/7). Dan, tadi (Senin kemarin—red) sekitar pukul 10.20-12.00 WIB, kita meminta keterangan Suaidi Yahya selaku saksi korban,” katanya.

Menurut dia, pemeriksaan terhadap Wakil Walikota Suaidi Yahya ditangani oleh penyidik Unit Tindak Pidana Umum (Pidum). Selama pemeriksaan, kata dia, Suaidi Yahya ikut didampingi kuasa hukumnya, Effendi Idris. “Hasil pemeriksaan, Suaidi Yahya mengaku keberatan dengan pernyataan pihak tertentu yang menuding dirinya menjadi kaya selama menjadi Wakil Walikota Lhokseumawe. Pernyataan pihak tertentu tersebut diberitakan oleh Harian Aceh dan Prohaba edisi 8 Juli 2009,” kata Bambang.(nsy)

Sumber : Harian Aceh

Rawa Tripa Diekploitasi, Koalisi NGO HAM Siap Undang Komisioner HAM PBB

Lhokseumawe | Harian Aceh - Koalisi NGO HAM Aceh (aktivis specialis hak EKOSOB) menyatakan, setiap bulannya lebih 30 hektar lahan rawa di kawasan Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Ekploitasi tanpa norma ini diduga kuat dilakukan sekitar 15 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit.

Terkait hal itu, Koalisi NGO HAM Aceh bersama Tim Advokasi Lahan Gambut Tripa akan mengundang salah seorang komisioner HAM PBB bidang Lingkungan Hidup untuk menilai seberapa berat pelanggaran HAM lingkungan hidup di Indonesia terutama Provinsi Aceh.

Juru Bicara Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad melalui siaran pers, Selasa (2/6) mengatakan, kawasan Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya, seluas lebih kurang 20.000 hektar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, ternyata tanpa dilengkapi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal. Berdasarkan foto satelit awal tahun 1990-an, kata dia, luas lahan gambut di Rawa Tripa masih mencapai 61.000 hektar.

“Berdasarkan perhitungan masyarakat setempat pada akhir November 2007, luasan lahan Rawa Tripa hanya tinggal 31.000 hektar, terdiri atas 24.000 hektar hutan primer dan sekitar 7.000 hutan sekunder. Perhitungan lembaga ini, setiap bulannya, lebih dari 30 hektar lahan rawa di Rawa Tripa berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit,” kata Zulfikar.

Menurut dia, ekploitasi tanpa norma itu diduga kuat dilakukan sekitar 15 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Perusahaan itu, katanya, melakukan pengeringan lahan gambut secara masif. Pembangunan drainase menuju ke Samudra Hindia di pantai Barat Aceh oleh beberapa perusahaan mengakibatkan penurunan permukaan air di lahan gambut tersebut sampai satu meter.

“Jika ini terus berlanjut, karena sifat dari lahan Tripa atau gambut tidak dapat diperbaiki lagi hingga secara otomatis juga permukaan tanah akan semakin rendah dari permukaan laut yang akan mengakibatkan banjir besar secara terus menerus, akibat daya serap air dan tidak ada penampungan air kiriman, karena rawa Tripa yang telah rusak. Hal ini mengancam hak untuk hidup warga Negara, dan ini pelanggaran HAM berat. Sesuai catatan kami, dalam tahun 2009 ini saja Aceh telah mengalami tujuh kali banjir,” tutur Zulfikar.

Zulfikar menyebutkan, beberapa perusahaan besar yang beroperasi untuk mengalih fungsikan lahan di Rawa Tripa tersebut di antaranya adalah PT. Astra Agro Lestari (13.000 hektar), PT GSM (8000 hektar), PT Kalista Alam, Cemerlang Abadi, dan Patriot Guna Sakti Abadi.

Kondisi ini, lanjut Zulfikar, sangat memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat karena secara otomatis di samping akan mengancam keberadaan seluruh makhluk hidup yang ada, juga akan mengancam Hak Asasi Manusia terutama hak kepemilikan anak cucu kita terhadap lingkungan yang layak dan terbebas dari bencana.

“Maka sangat penting sebuah gerakan masyarakat terutama media informasi untuk menghadirkan sebuah informasi yang berbasis pada penyelamatan lingkungan, yang berfungsi di samping daya tekan terhadap berbagai kebijakan yang harus berpihak pada perlindungan kelestarian lingkungan hidup juga akan menjadi pembelajaran bagi masyarakat Aceh,” pungkas dia.

Selain itu, kata Zulfikar, pemerintah harus segera menghentikan pemberian HGU bagi perusahan yang terus merusak lahan Tripa dan tidak melaporkan dampak lingkungannya sebagaimana diatur berdasarkan PP No. 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak pakai Atas Tanah, Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di mana sampai saat ini terdapat beberapa HGU yang masih beroperasi melakukan eksploitasi terhadap rawa Tripa, dan harus dilakukan evaluasi menyeluruh.

Menurut Zulfikar, dalam waktu dekat Koalisi NGO HAM Aceh bersama Tim Advokasi Lahan Gambut Tripa akan mengundang salah seorang komisioner HAM PBB bidang Lingkungan Hidup untuk menilai seberapa berat pelanggaran HAM lingkungan hidup di Indonesia terutama Provinsi Aceh. “Awal bulan depan mungkin kita sudah tahu namanya karena masih dalam proses penentuan masalah dan anggota komisioner yang akan datang ke Aceh,” ujarnya.(nsy)

Sumber : Harian Aceh, 03 Juni 2009