18 Oktober 2009

Rawa Tripa Diekploitasi, Koalisi NGO HAM Siap Undang Komisioner HAM PBB

Lhokseumawe | Harian Aceh - Koalisi NGO HAM Aceh (aktivis specialis hak EKOSOB) menyatakan, setiap bulannya lebih 30 hektar lahan rawa di kawasan Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Ekploitasi tanpa norma ini diduga kuat dilakukan sekitar 15 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit.

Terkait hal itu, Koalisi NGO HAM Aceh bersama Tim Advokasi Lahan Gambut Tripa akan mengundang salah seorang komisioner HAM PBB bidang Lingkungan Hidup untuk menilai seberapa berat pelanggaran HAM lingkungan hidup di Indonesia terutama Provinsi Aceh.

Juru Bicara Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad melalui siaran pers, Selasa (2/6) mengatakan, kawasan Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya, seluas lebih kurang 20.000 hektar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, ternyata tanpa dilengkapi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal. Berdasarkan foto satelit awal tahun 1990-an, kata dia, luas lahan gambut di Rawa Tripa masih mencapai 61.000 hektar.

“Berdasarkan perhitungan masyarakat setempat pada akhir November 2007, luasan lahan Rawa Tripa hanya tinggal 31.000 hektar, terdiri atas 24.000 hektar hutan primer dan sekitar 7.000 hutan sekunder. Perhitungan lembaga ini, setiap bulannya, lebih dari 30 hektar lahan rawa di Rawa Tripa berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit,” kata Zulfikar.

Menurut dia, ekploitasi tanpa norma itu diduga kuat dilakukan sekitar 15 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Perusahaan itu, katanya, melakukan pengeringan lahan gambut secara masif. Pembangunan drainase menuju ke Samudra Hindia di pantai Barat Aceh oleh beberapa perusahaan mengakibatkan penurunan permukaan air di lahan gambut tersebut sampai satu meter.

“Jika ini terus berlanjut, karena sifat dari lahan Tripa atau gambut tidak dapat diperbaiki lagi hingga secara otomatis juga permukaan tanah akan semakin rendah dari permukaan laut yang akan mengakibatkan banjir besar secara terus menerus, akibat daya serap air dan tidak ada penampungan air kiriman, karena rawa Tripa yang telah rusak. Hal ini mengancam hak untuk hidup warga Negara, dan ini pelanggaran HAM berat. Sesuai catatan kami, dalam tahun 2009 ini saja Aceh telah mengalami tujuh kali banjir,” tutur Zulfikar.

Zulfikar menyebutkan, beberapa perusahaan besar yang beroperasi untuk mengalih fungsikan lahan di Rawa Tripa tersebut di antaranya adalah PT. Astra Agro Lestari (13.000 hektar), PT GSM (8000 hektar), PT Kalista Alam, Cemerlang Abadi, dan Patriot Guna Sakti Abadi.

Kondisi ini, lanjut Zulfikar, sangat memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat karena secara otomatis di samping akan mengancam keberadaan seluruh makhluk hidup yang ada, juga akan mengancam Hak Asasi Manusia terutama hak kepemilikan anak cucu kita terhadap lingkungan yang layak dan terbebas dari bencana.

“Maka sangat penting sebuah gerakan masyarakat terutama media informasi untuk menghadirkan sebuah informasi yang berbasis pada penyelamatan lingkungan, yang berfungsi di samping daya tekan terhadap berbagai kebijakan yang harus berpihak pada perlindungan kelestarian lingkungan hidup juga akan menjadi pembelajaran bagi masyarakat Aceh,” pungkas dia.

Selain itu, kata Zulfikar, pemerintah harus segera menghentikan pemberian HGU bagi perusahan yang terus merusak lahan Tripa dan tidak melaporkan dampak lingkungannya sebagaimana diatur berdasarkan PP No. 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak pakai Atas Tanah, Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di mana sampai saat ini terdapat beberapa HGU yang masih beroperasi melakukan eksploitasi terhadap rawa Tripa, dan harus dilakukan evaluasi menyeluruh.

Menurut Zulfikar, dalam waktu dekat Koalisi NGO HAM Aceh bersama Tim Advokasi Lahan Gambut Tripa akan mengundang salah seorang komisioner HAM PBB bidang Lingkungan Hidup untuk menilai seberapa berat pelanggaran HAM lingkungan hidup di Indonesia terutama Provinsi Aceh. “Awal bulan depan mungkin kita sudah tahu namanya karena masih dalam proses penentuan masalah dan anggota komisioner yang akan datang ke Aceh,” ujarnya.(nsy)

Sumber : Harian Aceh, 03 Juni 2009

Tidak ada komentar: