Lhokseumawe | Harian Aceh--Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bireuen yang memberi hukuman penjara enam bulan dan denda Rp6 juta subsider kurungan dua bulan kepada Fajri Bin M Isa, serta tiga bulan penjara dan denda Rp3 juta subsider kurungan sebulan kepada Helmi Bin Hamputi, dinilai belum berspektif anak yang notabene masih dalam pendidikan.
Demikian disampaikan Zulfikar Muhammad, Koordinator Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009, melalui siaran persnya, tadi malam. Posko Bersama ini yang melakukan pemantauan terhadap penerapan hukum terhadap kasus pemilu, menyatakan itu terkait kasus dugaan perusakan atribut kampanye beberapa partai politik di kawasan Kecamatan Jangka Bireuen yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur atau pelakunya masih dalam status sebagai siswa kelas satu SMA.
Alasan Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009 menilai putusan PN Bireun pada Kamis (16/4) itu belum berspektif anak, menurut Zulfikar, karena sesuai pasal 16 UU No.23 ayat (3) tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan: bahwa penahanan, penangkapan atau tindak pidana penjara hanya dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan Pasal 17ayat (1) huruf (b) bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap upaya hukum yang berlaku. Di samping itu Putusan Hakim PN Bireuen dinilai sangat memberatkan terdakwa Fajri bin M Isa dan Suhelmi bin Hamputi selaku terdakwa kasus perusakan baliho partai PPP, PRA dan Partai SIRA yang memiliki latar belakang orang tua kurang mampu.
“Maka dalam upaya banding yang diajukan oleh masing-masing terdakwa, Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009 yang dibantu LSM BIMA Bireuen, di samping melakukan pemantauan terhadap berbagai pelanggaran pemilu yang terkait dengan intimidasi dan kekerasan, juga melakukan pemantauan dan pendampingan hukum terkait dengan penerapan hukum untuk berbagai kasus Pemilu 2009,” kata Zulfikar Muhammad.
Menurut dia, dalam kasus yang dialami Fajri Bin M. Isa dan Suhelmi Bin Hamputi oleh polisi dalam hal ini Polsek Jangka Bireuen tidak pernah melakukan Upaya Diskresi yaitu berupa mekanisme khusus pemberlakuan untuk tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anak dengan memanggil pihak yang merasa dirugikan untuk dapat menghentikan kasus ini. “Dan, jaksa penuntut umum terlalu kaku berpatokan pada UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, dengan tidak melihat penerapan hukum lain terutama UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,” katanya.
Dalam surat tuntutan jaksa, menurut Zulfikar, menyebutkan hal yang memberatkan dalam kasus ini adalah akibat perbuatan ke-dua terdakwa telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat sungguh tidak didasarkan fakta lapangan yang memadai. Karena fakta persidangan dari pengakuan terdakwa bahwa mereka hanya bermaksud memindahkan baliho yang telah rubuh dan miring ke jalan agar lalulintas tidak terganggu dan di samping itu sampai hari ini belum ada masyarakat yang menyatakan resah akibat dari perbuatan anak-anak ini.
“Dan, di lain pihak para pihak yang dirugikan dalam kasus ini yaitu partai PPP, PRA dan Partai SIRA dengan maksud sangat mulianya telah menyerahkan langsung kepada kedua anak tersebut. Pernyataan tertulis yang berisikan telah memaafkan tindakan ke-duanya, menyerahkan pembinaan mereka kepada pihak sekolah dan pemuka adat gampong dan memohon kepada majelis hakim tinggi Pengadilan Tinggi Aceh untuk kiranya dapat membebaskan mereka dari segala hukuman,” kata Zulfikar.
Secara Sosiologis, lanjut Zulfikar, tindakan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut adalah murni dari ketidak tahuan mereka terhadap aturan pidana pemilu. Karena dari hasil pemantauan yang dilakukan Posko Masyarakat Sipil Pantau HAM secara umum masyarakat tidak mengetahui berbagai aturan pada Pemilu 2009, akibat lemahnya sosialisasi yang dilakukan KIP. “Jadi kita mengharapkan agar dari carut-marutnya sistem penyelenggaraan Pemilu 2009 jangan sampai memakan korban apalagi itu adalah anak-anak yang dapat dipastikan masih memiliki masa depan yang lebih baik nantinya,” katanya.
Zulfikar berharap majelis hakim Pengadilan Tinggi Aceh dapat kira mengabulkan memori banding yang disampaikan anak-anak melalui PN Bireuen tersebut mengingat keputusan akhir dalam kasus pidana pemilu berada di Pengadilan Tinggi dengan tidak ada upaya hukum lainnya sesuai dengan UU No.10 tahun 2008 tentang pemilu. “Hendaknya majelis hakim tinggi dapat melakukan penemuan hukum hingga tidak berakibat pada menghambat hak mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak tersebut,” kata mantan aktivis mahasiswa ini.
Sikap keberatan atas putusan PN Bireuen itu, juga disampaikan Posko Masyarakat Sipil Pemantauan HAM pada Pemilu 2009, melalui surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Mentari Departemen Hukum dan HAM, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, Pimpinan KPU Pusat, Ketua KOMNAS HAM, dan Ketua KOMNAS Anak RI.(irs)
Sumber : Harian Aceh, Jum'at 24 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar