18 Oktober 2009

Prestasi Aparat Keamanan Dipuji

BANDA ACEH - Keberhasilan aparat keamanan (polisi dan aparat TNI) dalam memberangus para penculik, sekaligus menyelamatkan Jufrizal (18), warga Lhokseumawe yang diculik, Rabu (3/6) siang, mendapat apresiasi tinggi dari berbagai kalangan di Aceh. Prestasi itu dinilai makin memulihkan rasa percaya masyarakat pada kesungguhan polisi membasmi kejahatan-kejahatan bersenjata api, sekligus telah memberikan harapan baru bagi rasa aman masyarakat Aceh pasca-MoU Helsinki. Demikian, antara lain, sari pendapat Ketua DPR Aceh Sayed Fuad Zakaria, Juru Bicara Koalisi NGO HAM Aceh Zulfikar Muhammad, dan akademisi Fakultas Hukum Unsyiah yang juga pegiat hak asasi manusia (HAM), Saifuddin Bantasyam.

Sebagaimana diwartakan Serambi kemarin, drama penyanderaan Jufrizal, remaja Lhokseumawe, berakhir menegangkan ketika tim gabungan Polres Lhokseumawe, Polres Aceh Timur, Polres Langsa, Tim Khusus Polda, dibantu aparat TNI menggempur markas komplotan penculik di kawasan Jeungki, Peureulak Timur, Aceh Timur, Rabu siang. Dalam peristiwa itu dua tersangka tewas, empat ditangkap, sedangkan sandera berhasil dibebaskan.

Terkait prestasi itu, Zulfikar dari Koalisi NGO HAM Aceh dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (4/6), menyatakan keberhasilan polisi menyelamatkan Jufrizal, warga Simpang Keuramat yang menjadi korban penculikan, telah memberikan harapan baru bagi rasa aman masyarakat Aceh. “Selesainya kasus ini sangat berdampak pada psikologis masayarakat Aceh, terutama terhadap rasa aman di tengah maraknya kasus-kasus penculikan, pembunuhan, dan perampokan bersenjata api di Aceh dalam masa damai,” ujar Zulfikar.

Di samping itu, kata dia, drama penculikan dan suksesnya pembebasan Jufrizal ini, juga telah memberikan pesan penting bagi masyarakat dan penegak hukum bahwa keamanan akan bisa tercapai hanya karena kerja sama dan ketaatan masyarakat kepada hukum, serta sigapnya aparat kepolisian dalam mengambil tindakan.

“Perilaku polisi yang arogan seperti masa lalu harus segera dihapuskan. Karena kesuksesan seperti ini sangat terkait dengan dukungan masyarakat, terutama dalam hal memproteksi diri dari berbagai gangguan keamanan, dengan cara melaporkan berbagai gangguan ketertiban masyarakat kepada polisi, baik pelakunya oknum polisi, TNI, ataupun sipil bersenjata,” tulis Zulfikar.

Koalisi NGO HAM Aceh juga menyatakan dukungan penuh terhadap upaya polisi dalam menangkap para pelaku penculikan. Karena dalam dua tahun terakhir, Koalisi NGO HAM mencatat 15 kasus penculikan sepanjang tahun 2008 dan lima kasus penculikan dalam tahun 2009 berjalan. “Tentunya hal ini sangat meresahkan masyarakat dalam situasi perdamaian, karena hak merasa aman adalah hak asasi manusia yang tidak dapat ditawar,” ujar dia.

Begitupun, Zulfikar mengingatkan aparat kepolisian di Aceh agar senantiasa mengutamakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam melaksanakan tugas seperti ini. “Keselamatan korban dan warga di sekitar lokasi kejadian harus diutamakan. Ke depan, polisi harus lebih serius mengungkap mafia bersenjata di Aceh, mengingat hampir semua perampokan, penculikan, dan pembunuhan pelakunya menggunakan senjata api,” demikian Zulfikar.

Patut dihargai
Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria juga memberi apresiasi tinggi kepada Polda Aceh beserta jajarannya dan TNI atas keberhasilan bersama menggerebek dan menggempur sarang penculik bersenjata api, Rabu (3/6) siang di Jeungki, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, dan membebaskan sandera dengan selamat.

“Keberhasilan ini berkat kerja keras polisi bersama TNI dalam melaksanakan tugasnya dengan profesional, sehingga para penculik yang meresahkan masyarakat sudah dapat dilumpuhkan dan kita patut memberikan penghargaan yang tinggi kepada polisi dan TNI,” ujar Sayed Fuad Zakaria kepada Serambi kemarin.

Kerja sama seperti itu, disarankan Ketua DPRA agar makin ditingkatkan, sehingga jika muncul kasus yang sama penanganannya bisa secepatnya ditangani dan tepat sasaran. Gangguan keamanan, kata Sayed, setiap saat bisa terjadi, apalagi kondisi Aceh pascatsunami dan MoU Helsinki, sangat rawan terhadap berbagai tindakan kriminal. Faktor yang mendorongnya, antara lain, ekonomi, dendam, dan motif lain yang masyarakat umum sulit mengetahuinya, sebelum aktor intlektualnya ditangkap polisi.

Sayed merekomendasikan agar keberhasilan itu hendaknya dijadikan pola kerja sama yang permanen, baik untuk internal polisi maupun kerja sama antara polisi dan TNI, dalam penanganan kasus-kasus besar lainnya. “Terus terang, dengan pola kerja yang dibangun sekarang ini untuk memberantas kejahatan, masyarakat dan DPRA sangat puas akan hasilnya,” ujar Sayed.

Namun, dia ingatkan, karena komplotan penculik belum seluruhnya tertangkap, maka pola kerja sama ini perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan daya endus dan daya sergapnya, supaya kasus penculikan yang bakal terjadi bisa secepatnya diantisipasi dan ditangani. Sementara itu, Saifuddin Bantasyam SH MA mengatakan, keberhasilan polisi bersama TNI membombardir markas penculik di Jeungki, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, telah membuat masyarakat sedikit lega. “Keberhasilan itu harus dijadikan polisi dan TNI sebagai dasar tindakan untuk berbuat lebih cepat dan tepat lagi,” tukasnya.

Teknik penanganan kasus penculikan dengan memberangus pelaku dan menyelamatkan korban, menurut Saifuddin, perlu terus dikembangkan dengan meminimalisasi ancaman korban yang akan terjadi pada masyarakat. Dengan demikian, ketangkasan, kecepatan, dan ketepatan bertindak polisi bersama TNI, benar-benar diuji dalam menggerebek markas penculik.

“Jangan ceroboh, sehingga bisa membuat masyarakat jadi korban. Misalnya, peluru nyasar kepada masyarakat yang bukan menjadi sasaran dari operasi penindakan kejahatan yang dituju,” timpalnya. Dalam tindakan operasi, kata Saifuddin, hal seperti di atas bisa saja sewaktu-waktu terjadi dan di luar dugaan. Tapi tindakan meminimalisasi jatuhkan korban di pihak masyarakat, perlu menjadi prioritas utama dalam melakukan tindakan operasi kriminal. “Kalau ini bisa dilakukan oleh aparat keamanan, maka ini termasuk ke dalam kategori pelaksanaan pemerintahan yang baik, bersih, dan profesional,” kata Direktur Eksekutif YPHAM ini.

Mantan pejabat penghubung Komnas HAM di Aceh ini juga menyarankan keberhasilan polisi bertindak cepat, tepat, dan meminimalisasi jatuhnya korban yang bukan menjadi sasaran tindakan kriminal, perlu juga diterapkan dalam mengusut kasus tindak pidana korupsi di Aceh yang dinilai masyarakat selama ini berjalan lamban. “Misalnya, ya, dengan meniru sistem yang diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi: bertindak cepat, tepat, dan meminimalisasi sasaran yang bukan menjadi target hukum,” ujar Saifuddin. (her/nal) 

Sumber : Harian Serambi Indonesia, 5 Juni 2009

Tidak ada komentar: